Berdasarkan berbagai definisi para ahli kebijakan publik, kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan.
Tahap-tahap pembuatan
kebijakan publik
menurut William Dunn
Tahap-tahap kebijakan publik menurut
William Dunn. adalah sebagai berikut:
1. Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah
fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan
publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang
disebut sebagai masalah publik
dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu
berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan
prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan
alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam agenda
setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang
akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy
issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy
problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang
pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau
akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter
permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan
merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang
rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah
tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda
kebijakan. Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda
kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980;
Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya: telah mencapai titik kritis
tertentu à jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius; telah
mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis; 3.
menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat
manusia) dan mendapat dukungan media massa; 4. menjangkau dampak yang
amat luas ; 5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam
masyarakat ; 6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable
(sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
Karakteristik : Para pejabat yang
dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak
masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk
waktu lama.
Ilustrasi : Legislator negara
dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang
mengirimkan ke Komisi
Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan
berhenti di komite dan tidak terpilih.
Penyusunan agenda kebijakan
seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi
kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak
boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan
stakeholder.
2.Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam
agenda kebijakan
kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi
didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik.
Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau
pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu
masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan
kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih
sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk
memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan
legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat,
warga negara akan mengikuti arahan pemerintah.Namun warga negara
harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan
untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat
baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir
pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi
simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar
untuk mendukung pemerintah.
4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi
kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi
atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan
dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan
fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada
tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan.
Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan
masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk
menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak
kebijakan.
Kebijakan Publik Bidang Pendidikan di Indonesia
Ganti
Menteri maka akan segera diikuti dengan ganti kebijakan? Pandangan
seperti ini seakan sudah menjadi hal biasa di negeri kita. Padahal
secara manajemen, kesinambungan strategi dan pengelolaan organisasi
mutlak diperkukan agar sasaran bisa tercapai. Fenomena ini bisa
diterangkan secara ilmu manajemen dan ilmu kebijakan publik. Ada 2
aspek yang saya coba analisis berkenaan dengan fenomena ini, saya
coba jabarkan dalam bentuk yang sederhana.
* Kepentingan Politik dan Proses Pembuatan Kebijakan *
Pergantian Menteri di Indonesia dilaksanakan seiring pergantian Presiden yaitu setiap 5 tahun sekali. Namun dalam keadaan tertentu, jabatan Menteri bisa lebih pendek tergantung pada keputusan Presiden. Jabatan Menteri adalah jabatan politis, artinya bukan jabatan karir yang memerlukan persyaratan jenjang karir tertentu yang cukup ketat. Jabatan Menteri bisa diisi oleh siapapun yang dianggap mampu dan cocok mendudukinya menurut Presiden. Tidak ada keharusan bahwa seorang Menteri yang ditunjuk harus memiliki latar belakang akademis ataupun profesi yang sama dengan Kementerian yang dipimpin.
Karena penempatan pejabat Menteri ini sarat dengan berbagai pertimbangan politis, maka ada banyak konsekuensi bagi Menteri yang kemudian dipilih memegang jabatan. Menteri tidak dapat bersikap murni independen karena dibebani dengan berbagai “pesan sponsor” yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Kemungkinan besar faktor inilah yang mengakibatkan Menteri baru cenderung memiliki kebijakan baru pula. Ada kepentingan-kepentingan baru yang mempengaruhi keputusan pengambilan kebijakan baru sehingga menjadi berbeda dengan kebijakan yang lama.
Dalam teori manajemen, proses pembuatan kebijakan memang mengenal adanya unsur “interest group” dan “pressure group”. Interest group adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan atas kebijakan, dan pressure group adalah kelompok yang melakukan tekanan terhadap pembuat kebijakan karena berbagai alasan. Kedua kelompok ini ikut mempengaruhi seorang pejabat pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan. Pengaruh tersebut bisa baik dan bisa pula buruk dalam arti dapat memaksa pembuat kebijakan melakukan tindakan diluar hukum atau diluar garis kewajaran.
Interest group dan pressure group ini harus dapat dikendalikan, baik secara personal & organisasional oleh sang Menteri langsung, maupun secara sistemik oleh sistem kerja pemerintahan (misalnya dengan pola check & balance dengan lembaga yudikatif). Jangan sampai ada keputusan-keputusan "kebablasan" yang bisa dengan mudahnya diluncurkan dan tidak bisa dikontrol sama sekali. Tidak bisa diabaikan juga adalah peran masyarakat sendiri serta pers yang harus selalu bertindak sebagai "watch dog" para Menteri.
Struktur Kebijakan
Kebijakan dari pejabat Menteri baru idealnya tidak bisa melenceng terlalu jauh dari batas kewajaran, apalagi sampai bertentangan dengan aturan dan perundangan yang berlaku, atau bertentangan dengan kebijakan pejabat lama (selama kebijakan lama tidak salah atau merugikan kepentingan negara atau rakyat).
Pengambilan keputusan yang ideal haruslah memperhatikan struktur kebijakan yang tidak bisa dilanggar begitu saja. Kebijakan yang diambil oleh seorang Menteri harus sejalan dengan UUD 1945, UU, RPJM dan Renstra yang berkenaan dengan Kementerian bersangkutan. Artinya tidak diperkenankan ada kebijakan yang menyimpang dari pedoman diatasnya.
Kemudian pengambilan kebijakan juga harus mentaati prosedur dan kesepakatan umum atas proses pembuatan kebijakan sbb:
* Kepentingan Politik dan Proses Pembuatan Kebijakan *
Pergantian Menteri di Indonesia dilaksanakan seiring pergantian Presiden yaitu setiap 5 tahun sekali. Namun dalam keadaan tertentu, jabatan Menteri bisa lebih pendek tergantung pada keputusan Presiden. Jabatan Menteri adalah jabatan politis, artinya bukan jabatan karir yang memerlukan persyaratan jenjang karir tertentu yang cukup ketat. Jabatan Menteri bisa diisi oleh siapapun yang dianggap mampu dan cocok mendudukinya menurut Presiden. Tidak ada keharusan bahwa seorang Menteri yang ditunjuk harus memiliki latar belakang akademis ataupun profesi yang sama dengan Kementerian yang dipimpin.
Karena penempatan pejabat Menteri ini sarat dengan berbagai pertimbangan politis, maka ada banyak konsekuensi bagi Menteri yang kemudian dipilih memegang jabatan. Menteri tidak dapat bersikap murni independen karena dibebani dengan berbagai “pesan sponsor” yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Kemungkinan besar faktor inilah yang mengakibatkan Menteri baru cenderung memiliki kebijakan baru pula. Ada kepentingan-kepentingan baru yang mempengaruhi keputusan pengambilan kebijakan baru sehingga menjadi berbeda dengan kebijakan yang lama.
Dalam teori manajemen, proses pembuatan kebijakan memang mengenal adanya unsur “interest group” dan “pressure group”. Interest group adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan atas kebijakan, dan pressure group adalah kelompok yang melakukan tekanan terhadap pembuat kebijakan karena berbagai alasan. Kedua kelompok ini ikut mempengaruhi seorang pejabat pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan. Pengaruh tersebut bisa baik dan bisa pula buruk dalam arti dapat memaksa pembuat kebijakan melakukan tindakan diluar hukum atau diluar garis kewajaran.
Interest group dan pressure group ini harus dapat dikendalikan, baik secara personal & organisasional oleh sang Menteri langsung, maupun secara sistemik oleh sistem kerja pemerintahan (misalnya dengan pola check & balance dengan lembaga yudikatif). Jangan sampai ada keputusan-keputusan "kebablasan" yang bisa dengan mudahnya diluncurkan dan tidak bisa dikontrol sama sekali. Tidak bisa diabaikan juga adalah peran masyarakat sendiri serta pers yang harus selalu bertindak sebagai "watch dog" para Menteri.
Struktur Kebijakan
Kebijakan dari pejabat Menteri baru idealnya tidak bisa melenceng terlalu jauh dari batas kewajaran, apalagi sampai bertentangan dengan aturan dan perundangan yang berlaku, atau bertentangan dengan kebijakan pejabat lama (selama kebijakan lama tidak salah atau merugikan kepentingan negara atau rakyat).
Pengambilan keputusan yang ideal haruslah memperhatikan struktur kebijakan yang tidak bisa dilanggar begitu saja. Kebijakan yang diambil oleh seorang Menteri harus sejalan dengan UUD 1945, UU, RPJM dan Renstra yang berkenaan dengan Kementerian bersangkutan. Artinya tidak diperkenankan ada kebijakan yang menyimpang dari pedoman diatasnya.
Kemudian pengambilan kebijakan juga harus mentaati prosedur dan kesepakatan umum atas proses pembuatan kebijakan sbb:
- Proses pembuatan kebijakan menggunakan prosedur/aturan yang telah disepakati,
- Proses pembuatan kebijakan dilakukan secara transparan dan demokratis dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat yang akan melaksanakan dan dikenai kebijaksanaan tersebut,
- Proses pembuatan kebijakan berpedoman pada kebijaksanaan diatasnya, dan tidak bertentangan dengan kebijaksanaan yang setingkat,
- Proses pembuatan kebijakan didasarkan pada data yang lengkap, valid, reliable, obyektif dan up to date,
- Kebijakan yang telah dirumuskan memiliki nilai multiplier effect yang berkelanjutan.
Namun dalam kenyataannya
memang tidak semua prosedur diatas bisa dipenuhi dan dilaksanakan.
Karena lemahnya sistem birokrasi pemerintah, bisa terjadi dimana
proses diatas tidak dilaksanakan namun kebijakan tetap bisa dibuat
dan diimplementasikan. Bisa pula kebijakan baru yang muncul tidak
bisa menjalani semua langkah diatas karena keterbatasan waktu dimana
kebijakan harus dibuat secepatnya serta adanya tingkat urgensi yang
mendesak.
Untuk menjamin adanya “check and balance” dalam proses pembuatan kebijakan di lingkungan pemerintahan, seluruh warga negara dapat ikut melakukan pemantauan dan koreksi terhadap kebijakan yang tidak seuai presedur dalam proses pembuatannya, atau atas kebijakan yang melenceng dari kepentingan publik. Berikut adalah beberapa kriteria kebijakan yang baik sebagai acuan kita semua:
Untuk menjamin adanya “check and balance” dalam proses pembuatan kebijakan di lingkungan pemerintahan, seluruh warga negara dapat ikut melakukan pemantauan dan koreksi terhadap kebijakan yang tidak seuai presedur dalam proses pembuatannya, atau atas kebijakan yang melenceng dari kepentingan publik. Berikut adalah beberapa kriteria kebijakan yang baik sebagai acuan kita semua:
- Kebijakan yang dirumuskan berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
- Rumusan kebijakan jelas, mudah diimplementasikan dan mudah dikontrol,
- Kebijakan yang dirumuskan feasible (memperhatikan dengan sumber daya yang tersedia),
- Kebijakan yang dirumuskan bersifat adil, tidak memihak pada kepentingan kelompok tertentu.
Jika
ada kebijakan publik yang tidak memenuhi kriteria diatas, silahkan
diajukan ke pihak terkait untuk dapat dievaluasi bahkan
dikoreksi.
Dalam konteks kebijakan pendidikan Indonesia, ada banyak sekali kasus dimana kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah ternyata menyimpang jauh dari prinsip-prinsip proses pengambilan kebijakan yang baku. Adalah kewajiban bagi setiap warga negara untuk melurusannya dan menjadikannya sebagai kebijakan pendidikan yang pro-rakyat.
Dalam konteks kebijakan pendidikan Indonesia, ada banyak sekali kasus dimana kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah ternyata menyimpang jauh dari prinsip-prinsip proses pengambilan kebijakan yang baku. Adalah kewajiban bagi setiap warga negara untuk melurusannya dan menjadikannya sebagai kebijakan pendidikan yang pro-rakyat.
No comments:
Post a Comment