Monday, June 17, 2013

MAN JADDA WAJADA

MAN JADDA WAJADA
Buku Karangan: Akbar Zainudin
 
       I.            ABSTRACT
Kata-kata terkadang memiliki kekuatan dahsyat yang mampu mempengaruhi seseorang dalam menjalankan hidup. Sebuah kata bisa membuat seseorang bersemangat, optimis, dan menjalani hidup dengan penuh harapan akan masa depan. Tetapi, sebuah kata bisa juga menjerumuskan orang pada situasi dimana ia menjadi loyo dan tidak bergairah untuk menghadapi hidup. Karena itulah untuk membangun semangat, seseorang membutuhkan kata-kata, entah dari mana ia dapatkan, yang bisa menjadi sebuah prinsip dan pegangan hidup. Kata-kata itu bisa menjadikan cambuk dan semangat di kehidupan sehari-hari.
Dalam kehidupan sehari-hari, motivasi seseorang akan mengalami pasang surut. Dikala motivasinya sedang tinggi, ia akan sangat bergairah dan bersemangat dalam menghadapi hidup. Tetapi, dikala motivasinya sedang turun, peran kata-kata yang menjadi prinsip hidup akan menjadi sangat penting untuk membangkitkan motivasi dan semangatnya.
Penulis membagi tulisan ini ke dalam tiga bagian besar. Bagian pertama adalah mengenai bagaimana mengubah cara pandang tentang kehidupan agar selalu berada pada pikiran yang positif. Bagian kedua adalah bagaimana Seseorang mengembangkan potensi yang harus dimiliki. Sedangkan bagian ketiga adalah tentang rencana aksi yang perlu dilakukan seseorang dalam mencapai mimpi-mimpinya.
 

Tuesday, June 11, 2013

PENINGKATAN KINERJA TENAGA EDUKATIF DI BIDANG PARIWISATA

PENINGKATAN KINERJA TENAGA EDUKATIF
DI BIDANG PARIWISATA

(Studi Kasus Makassar Tourism Training Project/MTTP
di Kota Makassar)
Farid Said
Pascasarjana UNM Makasar
faridmks@yahoo.com
Diterima: 18 Maret 2009 Diproses: 30 Maret 2009

ABSTRACT
This paper discusses ‘Makassar Tourism Training Project’ (MTTP) which aims to increase the human
resources performance for tourism. Many programs have been implemented by this project such as
Competency Based Training/Assesment Workshop; Fellowship Programs; Training Programs; and Upgrading
Facilities. This paper shows that MTTP have succeeded in increasing the tourism performance particularly
and human resources for tourism in wider sense. However, various obstacles found oi this program, such as;
lack of commitment in the parts of local government, insufficient budget, and poor motivation. These obtacles
have to be tackled in order to ensure the program sustainability.


Keywords: MTTP, performance, human resources for tourism


http://www.map.ugm.ac.id/index.php/component/content/article/10-buku/49-jurnal-kebijakan-dan-administrasi-publik

MENCARI ALTERNATIF STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI

MENCARI ALTERNATIF STRATEGI
PEMBERANTASAN KORUPSI

Agus Pramusinto
Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM
Pengelola Program Magister Administrasi Publik UGM
Diterima: 15 Maret 2009 Diproses: 25 Maret 2009

ABSTRACT
This paper discusses an alternative strategy to combat corruption in Indonesia. Various approaches previously
adopted such as law enforcement and administrative reform are not effective enough. The result of reducing
corruption is not satisfactory as evidence that level of corruption in the country remains high. Therefore, a
cultural approach is needed to supplement the existing ones. By introducing an anti‐corruption culture
through education, we hope that people will become aware of the danger of corruption and prevent themselves
from being involved in corrupt practices. This method should be adopted from early time in the kindergarten
and elementary school.


Keywords: corruption, reform, cultural approach.


http://www.map.ugm.ac.id/index.php/component/content/article/10-buku/49-jurnal-kebijakan-dan-administrasi-publik

Sunday, June 9, 2013

JURNAL SOSIOLOGI



KONFLIK INTERNASIONAL 
ANTARA THAILAND DAN KAMBOJA
 PEREBUTAN KUIL PREAH VIHEAR
Abstrak 


Kuil Preah Vihear yang berusia 900 tahun, yang terletak antara kedua negara, menjadi fokus sengketa kepemilikan yang menegangkan di perbatasan. Ketegangan telah mereda setelah kedua pihak menarik tentaranya dari daerah itu dan menggantinya dengan polisi dan petugas keamanan tahun lalu. ICJ menyerahkan lokasi kuil itu kepada Kamboja di tahun 1962, tapi tidak menjelaskan siapa pemilik tanah seluas 4.6 kilometer persegi yang disebelahnya. Dubes Thailand untuk Belanda, Virachai Plasai, mengatakan kepada ABC, menurut pendapatnya, sengketa soal  tanah itu baru menjadi masalah ketika UNESCO memberi situs itu status warisan dunia di tahun 2007. Jurubicara Kementerian Luar Negeri Kamboja, Koy Kuong, yang memimpin delegasi  Kamboja mengatakan, yang diinginkannya hasil yang adil.


Keyword:

Konflik antar Negara, Konflik Kamboja dengan Thailand. 




PENDAHULUAN



Latar Belakang


Sengketa Sengketa Kuil Preah Vihear sejak 1962 telah memicu konflik berdarah antara Thailand dan Kamboja. Konflik akibat sengketa kuil tersebut kembali pecah pada 22 April lalu. Pemerintah Kamboja dan Thailand mengklaim bahwa kuil tersebut milik kedua negara. Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan bahwa candi dari abad ke-11 itu milik Kamboja. Namun gerbang utama candi tersebut berada di wilayah Thailand. Thailand dan Kamboja juga saling tuding mengenai siapa yang pertama kali menarik pelatuk senjata. Menurut Pemerintah Thailand, insiden dimulai ketika pasukan Kamboja menembaki pihak Thailand. Sedangkan menurut Pemerintah Kamboja, Militer Thailand melanggar garis perbatasan dan menyerang pos militer kami di sepanjang perbatasan dari Ta Krabey hingga wilayah Chub Koki yang berada jauh di tengah wilayah Kamboja. Tujuannya untuk mengambil alih kedua candi yang diklaim milik Kamboja.




Rumusan masalah


1.      Mengapa muncul konflik antara Negara Thailand dan Kamboja yang keduanya terletak di Asia Tenggara?

2.      Bagaimana sikap PBB dan Indonesia selaku ketua ASEAN saait itu dalam penyelesaian sengketa antara Thailand dan Kamboja?



Landasan Teori

Konflik Thailand dan Kamboja mulai bergejolak ketika kuil Preah Vihear ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 2008. Padahal, kuil itu tengah menjadi rebutan Phnom Penh dan Bangkok,  dan waktu itu Thailand secara politik mengalami instabilitas. Pada tahun 2008, PM Samak baru saja diturunkan secara paksa oleh kekuatan rakyat (walaupun kemudian penurunan ini dilegitimasi dengan tuduhan lain). PM Somchai yang baru naik pun sepertinya tidak akan bertahan lama, karena masih kerabat mantan PM Thaksin. Padahal, jelas sekali bahwa massa sebelumnya menuntut penurunan PM Samak karena menuduh Samak sebagai antek Thaksin, apa lagi bila yang menjadi PM adalah kerabat Thaksin sendiri.

Untuk menghadapi instabilitas dan konflik horizontal dalam negeri ini, obat yang paling ampuh adalah mengalihkan perhatian rakyat, antara lain dengan cara "memiliki musuh bersama". Terkait ini, sangat mungkin Thailand  yang mengharapkan adanya konflik ini, karena jelas Kamboja tidak akan pernah bisa diuntungkan dengan adanya konflik ini. Secara hukum internasional, posisi Kamboja atas kuil ini sudah jelas. Secara politik, Kamboja relatif stabil. Secara ekonomi, mereka sedang giat-giatnya bangkit dari keterpurukan akibat perang saudara berkepanjangan pada dekade-dekade yang telah lalu. Secara militer, di atas kertas mereka jauh kalah dibanding Thailand, sehingga tidak mungkin Kamboja sengaja menantang Thailand untuk sebuah konflik terbuka.

Konflik kedua negara ini kemungkinan akan berlanjut dalam bentuk provokasi-provokasi kecil secara sporadis oleh militer Thailand, dan bila Kamboja terpancing dengan provokasi tersebut, bukan tidak mungkin konflik ini akan membesar.

Keberanian Thailand untuk menantang Kamboja ke dalam konflik terbuka itu sendiri kemungkinan didorong oleh fakta perimbangan kekuatan, bahwa kekuatan militer Kamboja sendiri secara alutsista kalah jauh dibanding Thailand. Kelemahan militer suatu negara selalu bisa menjadi salah satu pendorong/motivasi bagi terjadinya agresi oleh negara lain ke negara tersebut.

Tim Observer Indonesia yang digagas oleh ASEAN pada tahun 2011, saat Indonesia masih sebagai ketua ASEAN hingga saat ini masih jalan d itempat, karena Thailand belum menyepakati usulan kerja samanya. Kondisi ini sangat rawan jika terjadi perselisihan dikemudian hari bisa terjadi perang perbatasan kembali.

Di tengah upaya negara-negara ASEAN mengimplementasikan kesepakatan yang tercantum dalam Piagam ASEAN dan proses pembentukan Komunitas ASEAN 2015, pertemuan informal para Menlu ASEAN kali ini memiliki arti yang sangat penting sebagai sebagai langkah awal untuk memperlihatkan kredibilitas ASEAN dalam menangani masalah internal kawasannya.




ANALISIS KASUS


Kamboja dan Thailand adalah dua negara yang berada di Asia Tenggara. Kamboja memiliki perbatasan langsung dengan Thailand di sebelah barat, Laos di utara, Vietnam di timur, dan Teluk Thailand di selatan. Sungai Mekong dan Danau Tonle Sap melintasi negara ini.

Benang merah konflik kedua negara ini terjadi sejak lama, berawal pada Juni 1962. Saat itu kuil Hindu Kuno (Preah Vihear) yang diperebutkan Thailand dan Kamboja sebenarnya sudah diakui sebagai milik Kamboja oleh PBB. Ini terbukti dengan terdaftarnya kuil ini sebagai World Heritage atas nama Kamboja beberapa tahun lalu. Bahkan, pada tahun 1962, International Court Justice juga sudah mengakui bahwa kuil ini berada dalam wilayah Kamboja. Jadi, sebenarnya masalah ini sudah selesai secara hukum internasional dan Kamboja tentunya tidak memiliki kepentingan untuk memperebutkan kembali permasalahan kepemilikan kuil ini.

Namun, diantara kedua negara masih terdapat ketidaksepahaman atas keputusan Mahkamah Internasional tanggal 15 Juni 1962 tentang Case Concerning the Temple of Preah Vihear. Dalam keputusannya, mayoritas hakim (9 dari 12) Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Kuil Preah Vihear berada dalam wilayah kedaulatan Kamboja, dan Thailand harus menarik personil kepolisian dan militer dari kuil tersebut atau dari daerah sekitarnya dalam wilayah kedaulatan Kamboja.

Dalam kasus ini, Kamboja mendasarkan argumennya pada peta (Annex I Map) yang dibuat oleh pejabat Prancis pada tahun 1907, yang beberapa diantaranya adalah anggota Mixed Commission yang dibentuk berdasarkan boundary treaty antara France dan Siam tanggal 13 Pebruari 1904. Pada peta ini, daerah Dangrek yaitu lokasi dimana Kuil Preah Vihear berada, terletak dalam wilayah Kamboja.

Thailand di lain pihak berargumen bahwa peta tersebut tidaklah mengikat karena tidak dibuat oleh anggota Mixed Commission yang sah. Lebih lanjut, garis perbatasan yang digunakan dalam peta tersebut adalah berdasarkan watershed line yang sala,h dan bila menggunakan watershed line yang benar maka Kuil Preah Vihear akan terletak di dalam wilayah Thailand.

Memang dalam salah satu kesimpulannya, mayoritas hakim Mahkamah Internasional berpendapat bahwa walaupun peta sebagaimana dalam Annex I Map mempunyai kekuatan teknis topografi – namun pada saat dibuatnya peta ini tidak memiliki karakter mengikat secara hukum. Lalu apa alasan hakim sehingga menggunakan peta ini sebagai dasar keputusannya? Alasannya adalah karena saat peta ini diserahkan dan dikomunikasikan kepada pemerintah Siam oleh pejabat Perancis, pemerintah Siam  sama sekali tidak memberikan reaksi, menyatakan keberatan ataupun mempertanyakannya. Ketiadaan reaksi tersebut menjadikan pemerintah Siam menerima keadaan dan kondisi dalam peta ini. Demikian juga pada banyak kesempatan lainnya, pemerintah Thailand tidak mengajukan keberatan apapun terhadap letak Kuil Preah Vihear.

Pendapat mayoritas hakim Mahkamah Internasional ini nampaknya didasarkan pada prinsip estoppel, dimana kegagalan Thailand menyatakan keberataannya saat kesempataan tersebut ada membuat Thailand kehilangan hak untuk menyatakan, bahwa pihaknya tidak terikat pada peta dalam Annex I Map. Lebih menarik lagi, mayoritas hakim berkesimpulan, bahwa adalah tidak penting lagi untuk memutuskan apakah watershed line yang dipergunakan dalam peta peta sebagaimana Annex I Map telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Nampaknya kesimpulan terakhir inilah yang masih belum dapat diterima oleh Thailand, yang tetap berpendapat bahwa telah terjadi kesalahan watershed line dalam pembuatan peta namun tidak diperiksa oleh mayoritas hakim Mahkamah Internasional karena dianggap tidak penting lagi.

Pada Juli 2008, ketegangan antara Kamboja dan Thailand mulai memanas, ketika kuil Preah Vihear ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Padahal, kuil itu tengah menjadi rebutan Phnom Penh dan Bangkok. Mahkamah Internasional PBB pada 1962 telah memutuskan bahwa kuil Preah Vihear itu milik Kamboja. Kuil Hindu kuno itu, yang dibangun di tempat ketinggian 525meter di jajaran Gunung Dangrek yang merupakan perbatasan Thailand-Kamboja telah menjadi sumber sengketa kedaulatan selama puluhan tahun.

Bulan Februari 2011, Indonesia memfasilitasi pertemuan antara Menlu Kamboja dan Thailand di Jakarta. Menurut Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa, saat itu Thailand telah menyetujui isu pokok dalam upaya Indonesia untuk mengirim sebuah tim pemantau ke lokasi konflik guna mencari kebenaran terkait perang klaim antara dua pihak. Upaya mengirim tim sudah diusulkan sejak pertemuan awal tahun ini namun beberapa kali usulan gagal karena Thailand merasa kurang sepakat dengan butir rincian isinya. Pemerintah Thailand, menurut Marty masih dalam proses menyetujui.

Januari 2012 Tim observer Indonesia recananya akan dikirimkan ke perbatasan Thailand dan Kamboja terkait penyelesaian konflik. Juru bicara Kementerian Luar Negeri mengatakan hingga saat ini kerangka kerja tim observer masih terus disempurnakan.

Pada Februari 2012, sesuai laporan dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan dan Sekretariat Kabinet, Rancangan Peraturan Presiden mengenai Tim Observer untuk konflik Kamboja-Thailand masih dalam proses  namun proses, karena masih terkendala oleh pihak Thailand yang sampai saat ini belum menyepakati mengenai Tim Observer dari Indonesia.



Penyelesaian Sengketa

            Pemerintah Kamboja memilih jalan meminta bantuan pengadilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Negara itu meminta pengadilan internasional memerintahkan Thailand menarik tentaranya dan menghentikan aktivitas militer mereka di sekitar kuil yang menjadi lokasi sengketa. Thailand dan Kamboja selanjutnya meminta kesediaan Indonesia berperan sebagai penengah konflik yang terjadi di antara keduanya. Permintaan ini disambut baik Pemerintah Indonesia dan diwujudkan dengan cara membentuk tim peninjau. Komposisi tim peninjau terdiri dari unsur sipil dan militer, yakni dari staf Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan staf dari Kementerian Pertahanan serta perwira militer TNI.
             Indonesia sebagai ketua ASEAN sejak awal terjadinya bentrokan telah turut andil dalam upaya mendamaikan kedua negara. Peran serta Indonesia didukung penuh oleh Kamboja yang menyetujui rencana pengiriman tim peninjau dari Indonesia untuk mengawasi gencatan senjata. Namun pada akhirnya pihak Thailand menentang yang mengatakan bahwa permasalahan perbatasan seharusnya adalah masalah bilateral dan tidak melibatkan pihak ketiga.

Konflik Kamboja-Thailand ini juga menjadi pembahasan dalam pertemuan KTT ASEAN ke-18 di Jakarta. Pada tanggal 7-8 di Istana Bogor. Perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Hal ini dikarenakan Thailand menolak tiga permintaan Kamboja terkait usaha demokrasi perbatasan.
           

Salah satu tuntutan Kamboja untuk Thailand adalah diadakannya kembali pertemuan pembahasan perbatasan atau pertemuan Joint Border Commission (JBC) di Indonesia. Indonesia dipilih sebagai tempat pertemuan JBC karena Indonesia sebagai ketua ASEAN telah diberi mandat oleh Dewan Keamanan PBB untuk menengahi perselisihan kedua Negara. Pihak Thailand menolak hal ini.  Mereka menginginkan JBC hanya dilakukan oleh kedua negara (Kamboja dan Thailand), tanpa peran Indonesia.
           

Tuntutan lain yang ditolak Thailand adalah dikirimkannya tim teknis dari Kamboja ke 23 titik perbatasan yang dipersengketakan kedua negara, dan dilakukannya foto pemetaan wilayah untuk mengidentifikasi pilar perbatasan. Thailand menolak memenuhi tuntutan tersebut ialah karena mereka harus terlebih dahulu mengajukan hal itu kepada parlemen Thailand untuk diratifikasi.  Thailand berprinsip, tuntutan baru dapat dipenuhi apabila ratifikasi telah dilakukan. Di sisi lain, Kamboja menilai permintaan izin kepada parlemen Thailand adalah prosedur yang terlalu lama dan bertele-tele.  Menurut Kamboja, itulah sebabnya hingga kini perundingan perbatasan antarkedua negara tidak pernah rampung.  Kamboja pun menuduh Thailand tidak serius menerapkan diplomasi damai dalam berunding.




PENUTUP


Kesimpulan 


Opsi Penyelesaian

  1. Pada tahun tahun 1988-1989 Indonesia pernah menjadi tuan rumah Jakarta Informal Meeting (JIM) untuk menyelesaikan konflik antara Kamboja dan Vietnam. Pada saat itu Indonesia berhasil memfasiltasi dan memediasi kedua negara yang sedang bermusuhan untuk bisa duduk bersama-sama mendiskusikan dan menyelesaikan konflik diantara mereka.
  2. Indonesia yang ditunjuk sebagai Tim Observer Konflik Thailand-Kamboja harus terus membujuk Thailand agar segera menyepakati dan mengizinkan Tim Observer untuk bekerja memantau perbatasan yang menjadi sumber konflik;
  3. Pertemuan informal Menlu ASEAN kali ini bisa digunakan untuk menentukan modalitas perundingan dan menentukan apakah pembahasan perlu dibawa ke pertemuan High Council seperti yang disebutkan dalam Piagam ASEAN. Jika selama ini ASEAN belum pernah mengimplementasikan pertemuan High Council, sekaranglah saat yang tepat. Jika dipandang perlu, ASEAN dapat membuat Peace Keeping Operation, yang berasal dari pasukan militer maupun sipil negara-negara ASEAN sendiri, dan menerjunkannya di daerah konflik.

Dengan perbedaan pandangan yang sedemikian jauh sangat sulit dibayangkan bahwa negara-negara yang mengadopsi prinsip-prinsip realis dapat membangun danmenjalin kerjasama yang erat di antara mereka. Namun kondisi inilah yang terjadi diAsia Tenggara. Dengan fakta yang demikian sangat sulit mengharapkan kerjasamayang lebih erat akan tercapai di antara negara-negara anggota ASEAN sekalipun Piagam ASEAN telah diberlakukan. Piagam ASEAN yang berciri liberalis akan selalu berbenturan dengan kebijakan negara-negara anggotanya yang bercirikan realis.



Saran

Upaya yang harus menjadi prioritas ASEAN setelah menyusun Piagam ASEAN, adalah membongkar pola pikir negara-negaraanggotanya untuk lebih liberalis sehingga mau melepaskan sebagian kedaulatannyakepada entitas yang lebih tinggi (ASEAN) dan menjalin kerjasama yang lebih eratdiantara negara-negara anggota. ASEAN juga perlu bersikap proaktif dan menunjukkan kredibilitasnya sebagai organisasi kerjasama regional yang memang dibutuhkan negara-negara anggotanya menuju terbentuknya Komunitas ASEAN 2015.




DAFTAR PUSTAKA